Masih ada yang ingat tidak sewaktu kejadian kerusuhan anti-Tionghoa pada Mei 1998? Kira-kira di Indonesia akan ada kerusuhan anti-Tionghoa sebesar itu lagi tidak? Dimana saat itu wanita-wanita Amoi diperkosa ramai-ramai, toko kita dibakar, bahkan ada orang Tionghoa yang dibakar hidup-hidup. Bagi orang-orang Tionghoa yang awam, di benak mereka terlintas bahwa pemerkosa para Amoi tersebut adalah sekumpulan geng preman Fankui. Namun, secara fakta yang mengejutkan justru mayoritas pelaku pemerkosaan tersebut adalah sekumpulan oknum Fankui berseragam militer nasional, yang sudah terkoordinasi dalam mengeksekusi Tionghoa. Jelas sekali ini menandakan adanya keterlibatan pejabat-pejabat pemerintah Orde Baru saat itu yang memang mayoritas sangat anti-Tionghoa.
Para pengamat hak azasi manusia dan organisasi-organisasi wanita di Indonesia sudah mulai mendokumentasi kasus-kasus pemerkosaan selama kerusuhan rasial Mei 1998 yang mengakibatkan kejatuhan rejim Suharto. “Kerusuhan itu direncanakan, dikendalikan, dan disengaja.”, demikian kata Sita Kayam, seorang pekerja sosial dengan nada marah. Ia adalah seorang rekan kerja sebuah oraganisasi wanita di Jakarta. Ratusan wanita Tionghoa telah diperkosa selama kerusuhan sekejap yang melanda ibukota Jakarta, juga di setiap kota-kota besar berbagai provinsi.
Menurut dokumentasi, korban-korban yang mayoritas adalah etnis Tionghoa itu mengatakan bahwa pemerkosa mereka itu kebanyakan mengenakan seragam. Para pemerkosa itu mengatakan, “Sekarang giliran kamu, karena kamu China dan bukan Muslim!”, demikian kata seorang korban menurut psikolog Yayasan Kalyana Mitra.
Segala bentuk kekerasan seksual yang selama ini hanya kita bisa bayangkan, kini benar-benar terjadi, kata Sita Kayam. “Dan kami jadi yakin kalau ini semua bukan kebetulan. Semua kegiatan mempermalukan perempuan Tionghoa ini direncanakan dan diorganisasi dengan sekasama.”
Ratusan korban telah mengadu ke organisasi-organisasi wanita. “Rumah saya terbakar.”, cerita Helen Chang dengan ragu-ragu. “Kami menyelamatkan diri ke halaman. Saat itu datang beberapa laki-laki pribumi. Mereka mengenakan kaos dan celana seragam. Mereka membanting saya ke tanah lalu mereka satu per satu memperkosa saya.” Kemudian, kata ibu berusia 44 tahun ini, tanpa daya ia harus melihat bagaimana ketiga anak perempuannya ikut diperkosa.
Para perkerja sosial di klinik-klinik psikologi dan organisasi-organisasi wanita bersama-sama mendapatkan gambaran yang cukup serupa. Kebanyakan korban 98% adalah etnis Tionghoa, diperkosa antara 13–15 Mei 1998, juga 18–19 Mei 1998. Para pelaku menurut laporan berpotongan rambut ala militer dan mengenakan bagian-bagian dari pakaian seragam militer. Mereka selalu muncul dalam bentuk kelompok-kelompok. Jumlah perkosaan di kota-kota di luar Jakarta baru pada saat itu meningkat.
Para psikolog di pusat-pusat pertolongan untuk korban perkosaan berusaha susah payah agar para korban yang trauma mau berbicara. “Kebanyakan wanita-wanita dan gadis-gadis mengalami perlakuan yang terlalu kasar dan mereka takut para pelaku membalas dendam.” kata Rita Kolibonso dari organisasi wanita Mitra Perempuan. Di antara korban terdapat yang berusia 13 tahun sampai 72 tahun.
Komandan Polisi Jakarta Pusat, Lettu Iman Haryatnam telah meminta pada para Amoi korban kekerasan seksual ini untuk melapor. Panglima ABRI, Jendral Wiranto menjanjikan suatu penyelidikan dengan cara mengajukan rencana pembuatan pos-pos. Para Fankui pelaku pemerkosaan tampaknya tahu bahwa suatu penyelidikan tengah dimulai. Romo Sandyawan dari badan sosial Katholik di Jakarta mendapat kiriman pos sebuah granat tangan dan tulisan agar ia menghentikan kegiatan dokumentasi.
Organisasi-organisasi hak azasi manusia mendapat peringatan melalui telepon, “Kami sudah mengirimi Sandyawan sebuah granat. Kamu mau dikirim lebih banyak?” Sandyawan sudah mempublikasikan data diantaranya, wanita-wanita Amoi yang diperkosa lalu dilemparkan ke dalam bangunan yang tengah dilalap api. Albert Hasibuan, anggota Komnas HAM bersumpah akan mengusut pelanggaran berat HAM ini sampai tuntas. “Kami tidak bisa membiarkan kejahatan ini tidak mendapat hukuman, bahwa kita manusia karena motif politik jadi bertingkah laku lebih rendah dari binatang.”
0 Puteri amani :
Post a Comment